Sabtu, 28 November 2015

KAMI MASIH MAU BERSAMA MENIKMATI JAKARTA, katanya #3



Setelah rehat sejenak, menyegarkan badan seperlunya, tak lama setelah itu, sebagian dari kami si anak luar kota pengadu nasib di Jakarta mulai berkumpul. Afit tidak jadi ikut pergi, dia di hotel saja karena kebetulah bapak dan adiknya juga sedang ada keperluan di Jakarta dan menginap di hotel yang sama. Ingin menghabiskan waktu dengan keluarga saja, katanya.
Bertujuh: Saya, Liska, Nurul, Mega, Halimah, Yuanita, Ruri, kami berangkat menumpang 2 bajaj. Sebelumnya, di lobi sempat bertemu sekelompok kandidat Pencerah Nusantara yang akan tes keesokan hari, mereka baru saja tiba di hotel. Menyapa, berkenalan, lalu berpamit kami akan ke Istiqlal. Saya satu bajaj dengan Liska dan Nurul.

Nurul, Liska, Saya
 
Kalau saya ingat-ingat lagi...sepertinya, baru sekali itu saya pertama kali naik bajaj di ibu kota negara. Hehm... Dan, takjubnya saya adalah bahwa di antara kami yang sama-sama baru kenal, sudah saling akrab. Berasal dari daerah berbeda, berprofesi berbeda. Masih bertemu hanya beberapa jam, mengobrol hanya berapa menit, lalu seketika berjalan bersama. Sama sekali tidak ada rasa atau anggapan yang satu sebenarnya kompetitor bagi yang lainnya untuk satu hal menjadi Pencerah Nusantara. Tidak...sama sekali rasa dan pikiran itu tidak ada.

 
Liska, saya, Nurul, Mbak Mega

Singkatnya, kami sampai di Masjid Istiqlal (untuk pertama kalinya juga buat saya). Sayang saya tidak bisa masuk masjid, karena sedang berhalangan. Sementara yang lain berbuka dan sholat maghrib, saya dan mbak Yuanita cari makan di food center di pelataran luar masjid. Sambil makan, sambil saling bercerita rencana dan mimpi masing-masing. Kembali saya takjub. Kami baru kenal lho...lalu dengan begitu nyamannya saling bercerita.
Singkat cerita, sepertinya kami berdua sudah cukup lama menunggu dan belum ada kabar dari yang di dalam masjid. Sampai BBM saya berbunyi, dari kontak yang tidak dikenal. Laki-laki...Hhaa...siapa ini?
Dia mengaku Liska, yang minta ditemui karena terpisah dari rombongan yang lain, barang-barang dan alas kakinya dititipkan ke rombongan. Ya...saya percaya tidak percaya awalnya. Bukan apa-apa...untuk waspada saja. Tapi yah...kalau memang betul, kasihan juga Liska kebingungan. Maka saya dan mbak Yuanita mulai berjalan mencari Liska sesuai petunjuk dari obrolan BBM.
Daan...Yaa Allah...ternyata memang betul kami bertemu Liska. Sendirian, memang terpisah dari rombongan, dan nyeker alias tidak pakai alas kaki. Karena sandal dan semua barangnya dititipkan ke rombongan. Aduuuhh....terus yang lain ke manaa... (?)
Sekitar setengah jam atau satu jam, kami lupa karena menit selanjutnya setengah trenyuh setengah tahan ketawa dengar cerita Liska bagaimana bisa terpisah. Karena terpisah dan mencari rombongan tidak ada, Liska keluar masjid sendiri. Mencoba menghubungi saya (yang kebetulan kontak saya yang disimpan) sebelum HP-nya mati, tapi gagal. HP mati, akhirnya berusaha pinjam orang. Otomatis agak-agak curiga HP-nya mau dipinjam dengan orang tak dikenal tanpa alas kaki (Aduh! Kasihan Liska). Sampai akhirnya ada abang-abang pedagang yang bersedia meminjamkan HP. Maka begitulah Liska bisa menghubungi saya.
Kami bertiga akhirnya menunggu rombongan keluar dari masjid, di trotoar...di tengah riuhnya pasar dadakan yang biasa digelar pedagang di area jalur masuk/keluar masjid. Sambil mendengar cerita Liska, diselingi tertawa dan menenangkannya setelah lolos dari “peristiwa hampir tragis”.
Ketika rombongan keluar dan menemukan kami. Maka kehebohan lebih besar terjadi. Menertawakan ulah kami sendiri yang ga habis pikir, bisanya terpisah, bingung cari toilet, ga tau jalan balik, bingung ada personel yang hilang, daan...seterusnya. Hahaha...
Sudah usai sholat di Masjid Istiqlal, kami naik bajaj lagi ke Monas. Kalau ke monas ini sudah bukan yang pertama buat saya. Kemarin, waktu baru sampai di Jakarta, karena masih terlalu awal untuk check in ke hotel, seturunnya saya dari kereta di Stasiun Pasar Senen saya sudah mampir ke Monas dulu, naik Bus Trans Jakarta (yang ini pertama kali buat saya, ke Jakarta sendiri, naik Trans Jakarta sendiri). Setelah lelah memutari monas, barulah saya naik taksi ke hotel. Kemarin begitu. Maka ketika ke Monas lagi bersama rombongan kecil ini, berarti itu kedua kalinya saya ke Monas.

Monas bersolek di malam hari
  Monas di malam hari, ramai juga. Lampu sudah dipasang kerlap-kerlip menerangi Monumen ciri khas Jakarta (dan Indonesia) berwarna-warni. Beberapa boneka costplay berjalan kesana-kemari menawarkan jasa foto bersama dengan karakter mereka yang lucu. Kegiatan kami, yah...apa lagi kalau bukan foto-foto, duduk-duduk, dan tertawa-tawa.
Dan lagi-lagi Liska (dengan Nurul dan saya) dapat jackpot! Enak-enak santai duduk di rerumputan sekitar monas, kami didatangi pengamen. Ibu-ibu paruh baya yang membawa anak. Sadar bahwa ini bentuk lain dari mengemis, dan bahwa kami sepakat dalam diam untuk tidak memberikan uang, kami menolak dengan halus. Ehh...si ibu-ibu malah kasih harga berapa harusnya kami beri dia uang. Tetap tidak kami berikan, eh...nawar. Semakin turun...semakin turun...tetap tidak kami beri, dan akhirnya si ibu berhenti di, “Ya sudah kasih Rp 2.000,00 saja,” Lhooo??? Tetap kami tidak bergeming. Ehh...si ibu malah marah-marah. Piye tho?! Kok maksa.
Tidak ambil pusing dengan si ibu yang ngamuk-ngamuk sendiri, kami kembali bergabung dengan rombongan. Foto-foto lagi...
Sebelum semakin malam. Ruri harus mengejar bis untuk segera pulang dari Terminal Gambir. Kami hentikan aktivitas di pelataran Monas, mulai menjauh mengantar Ruri.
Setelah berpisah dengan Ruri, berjalan keluar dari area Monas sambil masih bercengkrama, bercerita, bersenda gurau. Justru seperti teman lama sedang reuni saja. Kami mau pulang balik ke hotel. Sudah malam. Kami tetap pilih bajaj sebagai moda transport favorit hari ini. Kami berenam, mencoba menawar 2 bajaj untuk mengantar kami ke Menteng. Negosiasi gagal! Jual mahal kali abang-abang bajaj ini. Tapi tetap ada satu abang bajaj yang bersedia mengantar kami, harganya sepakat. Tapii....dijadikan satu. BAYANGKAN!! Satu bajaj, 1 sopir, 6 penumpang!!! Itu yang terjadi.
 
Bajaj, jadi favorit (dan ada yang mupeng naik sih sebenernya...)
 Tapi akhirnya kami selamat juga sampai tujuan. Sudah malam. Masing-masing lelah. Besoknya masing-masing kami masih harus menempuh perjalanan pulang balik ke daerah asal. Kami masuk kamar masing-masing. Istirahat.
Wait! Saya ada satu janji dengan satu teman lama yang juga lolos dan akan tes Pencerah Nusantara keesokan hari. Ada mbak Ineke, penyala Malang, Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang baru pulang dari penugasan di Musi Banyuasin. Dia juga menginap di hotel yang sama, menunggu tes. Saya menyempatkan diri ke kamarnya. Beda lantai dari kamar saya, tapi tidak masalah. Bertemu, bertanya kabar, lalu mengobrol cukup lama.
Sadar malam akan semakin larut, terpaksa harus diakhiri obrolan dengan mbak Ineke. Kembali ke kamar. Di sana Afit sebenarnya sudah akan bersiap istirahat. Tapi demi saya yang cerita heboh soal insiden di Masjid Istiqlal dan Monas, ikut tertawalah dia. Mengobrol hal lain sejenak. Lalu sama-sama pergi tidur. Afit akan kembali pulang ke daerah asal selepas subuh, bersama bapak dan adiknya. Ahh...singkat saja pertemuan saya dengan si bidan ini, tapi dia sudah meminta agar kami saling bercerita progress kelanjutan nasib masing-masing. Hehe... memang untuk itulah teknologi diciptakan. Untuk memperpanjang interaksi.
Malam itu saya tidur dengan hati senang, dan penuh harap, semoga Allah beri jalan terbaik. Bila memang di Pencerah Nusantara saya akan jadi lebih baik, saya sangat mengharapkannya.. lalu memejamkan mata. Tidur.


Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar