Sabtu, 28 November 2015

IT’S ABOUT TO BEGIN #6



11 Agustus 2014

Sampai juga akhirnya di hari yang dinanti. Hari pertama rangkaian Pelatihan Pencerah Nusantara angkatan 3. Dari pagi semua orang sudah bersiap, berkumpul saling berinteraksi meninggalkan kamarnya masing-masing. Sebagian mencari kembali teammate-nya, sebagian mencoba berkenalan dengan yang lain di luar tim. Saya, melakukan keduanya. Tidak mau melewatkan momen...berfoto adalah kegiatan wajib dilakukan. Dan...inilah photogroup pertama kami, Tim Ogotua. Nantinya, di bagian cerita yang lain, saya akan menulis, mengenalkan keluarga kecil saya ini. 




Entah apakah sama yang saya rasa dengan teman-teman lainnya. Segera saya menyadari selama beberapa minggu ke depan di sinilah kami berada, di sinilah kami tinggal. Dengan orang-orang ini, yang masih sejenak saja bertemu namun sudah akrab luar biasa. Tegur sana-sini, tawa terdengar disana-sini. Membangun kekeluargaan, dengan senasib sepenanggungan nantinya selama bertugas. Bersama merekalah saya akan tumbuh bersama. Bersama mereka yang luar biasa. Dan siapa yang mengira ini adalah awal dari salah satu petualangan berharga kami. Tiga puluh lima pemuda, siap mencoba menyelami Indonesia lebih dekat. Kami, Pencerah Nusantara.

Masih hari pertama sudah rusuh kayak gini...
 
Ini hari pelatihan pertama, masih ada yang kami tunggu. Menunggu komando panitia kapan acara dimulai. Oya, kami sudah bertemu dengan para panitia, belum berkenalan secara resmi, tapi cukuplah tahu bahwa mereka juga yang akan kami repotkan selama pelatihan. Mereka terlihat keluar masuk ruangan pelatihan, tidak satu pun dari kami boleh mengintip. Ihh...penasaran.
Rupanya memang ada tamu besar yang tengah kami tunggu. Beliau Prof. Nila F. Moeloek, yang menjabat Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs. Beliau sendiri rupanya yang akan menyambut dan membuka pelatihan. Tak lama setelah kedatangan beliau, maka kami dikomando untuk mulai masuk satu persatu ke ruangan.

Panitia menyiapkan penyambutan kecil ketika kami mulai masuk ruangan. Berjajar rapi merapat dinding di setiap sisi ruangan,mereka bertepuk tangan riuh sambil mempersilahkan kami mengisi kursi di ruangan. Kami Tim Ogotua mengambil duduk berderet di salah satu lajur. Di dinding, terpasang spanduk bertuliskan “Pelatihan Pencerah Nusantara Angkatan III”. Di sisi lain dinding, dipenuhi tempelan kertas warna-warni bertuliskan nama-nama kami, berkelompok sesuai penempatan.
Seingkatnya, pelatihan dibuka. So, we are officially PENCERAH NUSANTARA. Terdengar heroik. Dan di hari-hari selanjutnya dan seterusnya selama pelatihan kami dipersiapkan agar pantas menyandang tanggung jawab itu.


Pertama kali ketemu langsung Prof. Nila F. Moeloek






Tiga super women "bidan" Pencerah Nusantara: Kak Nindi, Prof. Nila, Mbak Diah


Bersambung...

VENUS #5

Pelatihan atau training Pencerah Nusantara angkatan ke-3 terpusat di Museum Listrik dan Energi Baru (MLEB) Taman Mini Indonesia Indah. Di sana memang ada tempat khusus yang memang biasa digunakan untuk pelatihan atau pertemuan. Lengkap dengan bangsal untuk menginap para peserta.





Segera saja saya dan Liska mencari panitia. Bertemu dengan salah seorang yang akhirnya kami kenal namanya Kak Adi, mengarahkan kami untuk diantar ke kamar. Ruangan kamar yang dipakai untuk peserta pelatihan Pencerah Nusantara 3 ada 3 ruang. Satu ruangan kamar untuk laki-laki, dua ruangan yang lebih luas untuk peserta perempuan. Di masing-masing pintunya sudah tertempel nama-nama penghuni kamar dan pengelompokan tim berdasarkan penempatan.
Oh ya! Tentang tim. Saat pengumuman hasil seleksi via email, kami hanya tau secara personal bahwa kami lolos. Kami tau akan dikirim dalam satu tim listas profesi, namun kami belum tau siapa saja member tim yang lain. Satu yang saya tau, bahwa mbak Ineke kenalan saya juga lolos seleksi dan penempatannya sama dengan saya. Tapi di chatting terakhir, belum jelas apakah mbak Ineke jadi berangkat.
Maka, seketika itu terjawablah pertanyaan tentang tim. Saya baca deretan nama-nama di setiap tim penempatan. Mentawai, Karawang, Tosari, Berau, Ende, Lindu, dan Ogotua. Yang terakhir, adalah tempat penugasan saya. Ada nama-nama di sana: I Gusti Lanang Andi Suharibawa, Rizkiyani Istifada, Mazidatul Faizah, nama saya sendiri, dan hey...ada nama baru: Siska Verawati. Satu nama sudah tidak asing lagi. Ternyata dokter di tim saya adalah dr.Lanang, dari almamater sendiri, Pendidikan Dokter FK Brawijaya angkatan 2007. Berarti saya dapat menyimpulkan perawat kami adalah Rizkiyani Istifada (yang di daftar nama satu kamar dengan saya), dan bidan kami Mazidatul Faizah. Siska Verawati? Masih menanti pertemuan dengannya...
Jadi rupanya karena satu dan lain hal, mbak Ineke mengkonfirmasi pengunduran dirinya dari Pencerah Nusantara. Seketika saya paham maka ada sedikit perombakan dalam tim saya.
Kembali ke kamar. Dari dua kamar untuk peserta perempuan, saya dan Liska di ruangan kamar yang sama. Masing-masing kamar ini diberi nama. Kamar kami namanya Venus. Kami berdua penghuni pertama Venus rupanya. Belum ada yang datang sebelum kami. Mana kami tahu waktu itu di kamar sebelah sudah berpenghuni. Hehe...
Ruang kamar venus berisi 12 bed yang berjajar di kanan kiri, menyisakan space di tengah untuk jalan. Nuansa sprei biru mendominasi warna. Ada satu televisi di ujung tengah ruangan, merapat ke dinding. Ada 2 lemari kayu (yang segera saja salah satunya dipenuhi baju-baju Liska. Saya takjub dengan kemampuan packing Liska. Dari kopernya cukup memenuhi 2 baris lemari kayu). Juga ada 2 AC, 2 kamar mandi. Sip! Masing-masing kami sudah memilih bed yang mana yang kami tempati. Saya ambil bed pertama sisi kanan yang dekat lemari kayu kedua, Liska ambil posisi di seberang saya (nantinya saya pindah), bed pertama di sisi kiri.
Beberes dan bebersih seperlunya. Dan istirahat sejenak, sebelum kami keluar berkeliling TMII sejenak. Kami sedang di TMII saudara! Jangan lewatkan waktu jalan-jalan. Pelatihan baru dimulai besok. Sebelum kami keluar, sudah datang satu lagi penghuni Venus. Happy namanya, penempatan Karawang. Lulusan kesehatan masyarakat Universitas Udayana. Asli Banyuwangi tapi sudah lama tinggal di Bali. Baru datang dari perjalanan jauh, pasti masih capek, maka kami berpamitan saja mau jalan-jalan dulu di sekitar MLEB.
Baru keluar kamar, satu kepala muncul dari kamar sebelah. Eh, ternyata benar kamar sebelah sudah ada penghuninya. Namanya Mala penempatan Mentawai sama dengan Liska, dia bilang baru ada beberapa orang yang menghuni kamar perempuan satunya, aduh saya lupa namanya. Lalu kami pamit mau jalan-jalan dulu.
MLEB termasuk bangunan di TMII yang lokasinya di bagian belakang, agak jauh dari pusat-pusat wahana TMII yang ramai pengunjung. Walaupun di belakang, tapi bangunan MLEB dengan kubah merahnya yang mencolok akan mudah dikenali. Cukup tenang berada di sini. Mungkin juga lepas dari musim liburan, jadi pengunjung di MLEB tidak seramai wahana lain. Ada beberapa ruangan di MLEB yang memang kalau dilihat cocok sebagai lokasi pelatihan. Panitia pelatihan menempati rumah yang sebenarnya adalah bagian dari MLEB juga, sebuah model rumah energi. Ada hamparan rumput hijau dengan tanaman dan pohon yang membuat asri. Ada lapangan serbaguna yang nantinya jadi pusat aktivitas olah raga kami di pagi hari. Ada area bermain anak-anak lengkap dengan ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, dan merry go round. Yang menarik, ada fasilitas gym sederhana yang kalau buat saya, sama saja sih gunanya dengan mainan anak-anak di seberangnya. Haha... bukan mental nge-gym.
Keluar dari MLEB, tepat di depannya ada jalur kereta gantung tinggi. Saya dan Liska belok ke kiri menyusuri jalan. Di dekat MLEB ada Taman Tionghoa yang indah. Segera saja jadi area foto-foto kami sampai jauh ke dalam. Puas foto di Taman Tionghoa, kami lanjut ke Museum Pos. Ada kantor pos betulan juga di sana. Menghabiskan waktu sejenak, sebelum akhirnya mulai petang dan kami kembali ke MLEB.






Kembali ke Venus, belum banyak penambahan orang. Lelah, saya dan Liska beristirahat dulu. Sebelumnya, saya memutuskan pindah bed ke ujung ruangan dekat televisi saja. Posisinya lebih strategis. Dekat colokan listrik, tepat di bawah AC jadi tidak terlalu kena angin AC, dan masih ada space antara bed dan dinding, jadi saya bisa di mana saya bisa meletakkan barang-barang tanpa terlalu memenuhi jalan. Saya belum bertemu satu pun teman setim saya.
Semakin malam, rupanya sudah semakin banyak teman-teman yang datang. Segera saja kamar Venus ini ramai. Halimah, mbak Mega sudah datang. Yup! Mbak Mega akhirnya masuk menggantikan peserta yang mengundurkan diri. Halimah mengambil tempat pilihan pertama saya, mbak Mega mengambil tempat berjarak 1 bed dengan Liska di sisi kiri. Beberapa teman baru yang sekamar ada Ida (Siti Khumaidah, asli Batang Jawa Tengah, penempatan Tosari, menghuni bed di sebelah Happy), mbak Yunita (penempatan Lindu, ambil bed di sebelah saya yang nantinya beberapa kali akan saya jajah..haha), kemudian datang 2 orang perawat dari UI. Orang Jakarta, jadi mereka bisa ke MLEB kapan saja sebenarnya. Rona (penempatan Tosari) dan Nahla (perawat lulusan UI yang asli Jambi), segera mereka mengisi bed yang masih tersedia. Rona di sebelah mbak Yunita, segera menata barangnya dari koper hijau besar. Nahla di antara Liska dan mbak Mega. Venus sudah bertemu 9 penghuninya, masih ada 3 bed tersisa. Masih saja teman setim saya belum datang, belum juga bertemu teman setim yang lain. Memang saya belum keluar kamar lagi.
Lepas maghrib saya keluar kamar, mencoba bertegur sapa dan berkenalan dengan penghuni kamar sebelah. Ada barisan kursi di dekat kamar kami menginap. Di sana terjadi ajang sosialisasi cepat antar Pencerah baru ini. Lalu itu dia...dr.Lanang yang sudah tidak asing lagi. Dengan tubuh tinggi besarnya pasti mudah dikenali. Lalu saya akhirnya bertemu dengan Mazidatul Faizah, bidan kami yang panggilannya Zizi, yang ternyata orang Surabaya. Menyusul Siska, akhirnya bertemu juga, lulusan kesehatan masyarakat USU. Orang batak, lahir Jakarta, kuliah di Medan, orang tua di Pekanbaru. Masih satu lagi...mana member tim yang katanya bernama Rizkiyani Istifada ini...
Dan ternyata dia datang lepas Isya’, terpaksa sampai malam karena terjebak sedikit macet di jalanan ibu kota. Rizkiyani Istifada, dipanggil Isti, perawat cantik tinggi kurus langsing (kutilang) lulusan UI. Dialah rupanya perawat di tim kami. Menempati bed di antara Ida dan mbak Mega, beberes seperlunya, lalu segera beristirahat. Tidur. Hari sudah malam. Masih ada 2 bed tersisa menunggu penghuninya.
Tengah malam, sayup-sayup saat mata sudah terlelap saya mendengar pintu diketuk. Setelah terbuka, ternyata datang satu lagi penghuni Venus buru-buru menempati bed di sebelah Halimah. Tak kuasa untuk menyambut, mata saya kembali terpejam. Penghuni Venus sudah lengkap, dengan satu bed memang kosong.


Bersambung...

BERPISAH UNTUK SEMENTARA #4



Sudah tulisan yang keempat tentang jurnal perjalanan saya menuju Pencerah Nusantara. Begitulah...kesempatan seleksi di Jakarta ternyata tidak sekadar memperjuangkan mimpi untuk bergabung di Pencerah Nusantara. Namun saya juga dapat pengalaman-pengalaman baru, pertamakali-pertamakali yang baru, kenalan dan saudara baru. What an amazing gift.
Subuhnya, Afit berpamitan pulang balik duluan. Saya...masih berdiam saja di kamar hotel. Kereta saya pulang balik ke Malang masih nanti siang. Siang nanti akan check out bareng Liska dan Nurul, sekalian berangkat ke Stasiun Pasar Senen bareng. Arah kami sama, Stasiun Pasar Senen. Untuk kemudian saya dan Nurul akan lanjut kereta yang sama (beda kursi) ke arah Malang, Liska lanjut naik kereta ke Madiun, lanjut Ponorogo.
Sampai stasiun, tidak disangka akhirnya bertemu juga dengan mbak Mega yang mau pulang ke Tuban. Sambil menunggu kereta, duduk ngemper, dan ngobrol bersama. Hehm...pertemuan singkat kurang dari 48 jam ini terasa selamanya.
Lalu dengan begitu kami berpisah. Dibawa kereta masing-masing menuju kampung halaman. Meninggalkan harapan di kota Jakarta. Membawa perkenalan teman baru, hingga beberapa saat ke depan masih saling berkirim kabar melalui gadget yang pintar itu.

Yang sama pada kami adalah, kami sedang menunggu. Sebuah pengumuman.

...

Hingga sampai pada suatu hari. Hari Jumat, tanggal 25 Juli 2014. Hari Jumat yang berjalan seperti biasanya di bulan Ramadhan. Kalau ada kesibukan atau kesenangan, mungkin karena semakin mendekati Idul Fitri. Dari pagi juga saya sudah keluar rumah mengurus beberapa hal. Tapi entah, ada perasaan yang beda pada hari itu.
Jawabannya saya dapat menjelang tengah hari. Saya masih di jalanan kota Malang. BBM berdenting, notifikasi dari Afit. Pikiran langsung tertuju tentang Pencerah Nusantara. Pengumumankah? Bukan saya rasa, karena di email terakhir tercantum hasil seleksi tahap II akan diumumkan tanggal 31 Juli 2014. Dan hey...sekarang masih tanggal 25. Belum saya buka BBM Afit, dalam hati bertanya-tanya...setengah harap, setengah gelisah. Nanti saja sampai di rumah akan saya baca pesan Afit.
Dan ternyata benar! Pengumuman hasil seleksi dimajukan pada hari itu. Pesan Afit berisi ucapan “SELAMAT”, saya lolos katanya. Wow...really????
Sehingga tak lama kemudian, jari saya bergerak melihat notifikasi email. Dan salah satu pesan di kotak masuk email saya tidak bohong...



I’m not dreaming, am I ? Alhamdulillah....baru saat inilah saya gemetar...karena senang saya lolos.
Beberapa pesan BBM juga masuk dari teman-teman se-kloter seleksi. Beberapa sama lolos. Beberapa yang lain tidak lolos. Di antaranya yang tidak lolos ini termasuk Afit dan Mbak Mega. Berusaha membesarkan hati mereka, dan bertambah syukur saya diberi kesempatan bisa lolos. Selain saya, ada Liska dan Halimah juga lolos. Alhamdulillah.
Jadi di sisa hari itu dihabiskan dengan memantau pesan-pesan yang kemudian menyusul masuk dari Pencerah Nusantara. Tentang surat resmi pengumuman hasil seleksi, tentang pelatihan, lengkap dengan beberapa hal yang perlu disiapkan selama pelatihan...di Jakarta. Kembali lagi, lagu “Tunggulah Aku di Jakarta” Sheila on 7 jadi soundtrack utama.

Surat Kelulusan bertanda tangan Prof. Nila F. Moeloek dan Mbak Diah
 
Di antara pesan masuk itu, salah satunya adalah perjanjian penugasan yang menyebutkan di mana saya akan bertugas satu tahun lamanya. Where? What? Sulawesi Tengah? Seketika yang terpintas adalah bagaimana menyampaikannya kepada orang tua. Orang tua sudah ikut senang saya lolos, tapi kan belum tahu saya penempatan di mana. Ini jawabannya...di Kecamatan Dampal Utara, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Tempat yang membayangkannya saja belum pernah.



Tapi pada akhirnya saya sampaikan jugalah berita bahagia ini (bahagia buat saya, karena berkesempatan ke luar Jawa), di hari itu, saat buka puasa. Dag dig dug...semoga diizinkan. Dan alhamdulillah....setelah diskusi sana-sini, diizinkan. Yeay!! Lalu diskusi berlanjut seputar bagaimana pelatihan dan penugasan yang akan dijalani. Hehm...setahun ya akan terpisah dari ortu... setahun ya (bahkan lebih) saya akan pergi. Begitu saya berangkat pelatihan, maka minimal setahun lagi baru saya akan pulang. Tentu ada rasa berat di saya dan ortu. Tapi sudah mantab. Lanjut!! Jarak bukan kendala. Yang perlu dipikir adalah...saya belum punya koper.
Singkatnya, segala hal disiapkan. Tidak saya sangka persiapan yang sedang saya lakukan dalam beberapa hari itu untuk satu tahun kepergian saya. Sehingga...momen hari raya Idul Fitri 1435 H pun, sekaligus jadi ajang berpamitan kepada sanak saudara. Bisa jadi tahun depan saya tidak bisa merayakan Idul Fitri bersama.
Tentang pelatihan. Saya masih bingung bagaimana berangkat ke Jakarta. Masih di masa arus mudik-balik. Kereta penuh, bus bukan jadi opsi menarik untuk perjalanan jarak jauh buat saya. Haruskah tengok tiket pesawat? Saya tidak pernah naik pesawat! Dan pasti mahal di saat musim hari raya begini. Mengontak Liska, akhirnya sepakat berangkat bersama saja, cari tiket pesawat yang masih tersedia. Hanya itu opsi yang memungkinkan. Lalu kami dapat jadwal penerbangan dari Bandara Abdurrahman Saleh Malang, tanggal 10 Agustus 2015. Sehari sebelum pelatihan dimulai.
Hingga akhirnya tiba di hari keberangkatan. Sahabat Army turut mengantar hingga ke bandara. Saya masih menunggu Liska untuk boarding bersama. Dengan datangnya Liska, itu artinya betul saat itu waktunya untuk berpisah. Untuk sementara saja. Untuk saya yang mengejar mimpi.

...

Saya dan Liska naik pesawat yang membawa kami ke Jakarta.


Bersambung...

KAMI MASIH MAU BERSAMA MENIKMATI JAKARTA, katanya #3



Setelah rehat sejenak, menyegarkan badan seperlunya, tak lama setelah itu, sebagian dari kami si anak luar kota pengadu nasib di Jakarta mulai berkumpul. Afit tidak jadi ikut pergi, dia di hotel saja karena kebetulah bapak dan adiknya juga sedang ada keperluan di Jakarta dan menginap di hotel yang sama. Ingin menghabiskan waktu dengan keluarga saja, katanya.
Bertujuh: Saya, Liska, Nurul, Mega, Halimah, Yuanita, Ruri, kami berangkat menumpang 2 bajaj. Sebelumnya, di lobi sempat bertemu sekelompok kandidat Pencerah Nusantara yang akan tes keesokan hari, mereka baru saja tiba di hotel. Menyapa, berkenalan, lalu berpamit kami akan ke Istiqlal. Saya satu bajaj dengan Liska dan Nurul.

Nurul, Liska, Saya
 
Kalau saya ingat-ingat lagi...sepertinya, baru sekali itu saya pertama kali naik bajaj di ibu kota negara. Hehm... Dan, takjubnya saya adalah bahwa di antara kami yang sama-sama baru kenal, sudah saling akrab. Berasal dari daerah berbeda, berprofesi berbeda. Masih bertemu hanya beberapa jam, mengobrol hanya berapa menit, lalu seketika berjalan bersama. Sama sekali tidak ada rasa atau anggapan yang satu sebenarnya kompetitor bagi yang lainnya untuk satu hal menjadi Pencerah Nusantara. Tidak...sama sekali rasa dan pikiran itu tidak ada.

 
Liska, saya, Nurul, Mbak Mega

Singkatnya, kami sampai di Masjid Istiqlal (untuk pertama kalinya juga buat saya). Sayang saya tidak bisa masuk masjid, karena sedang berhalangan. Sementara yang lain berbuka dan sholat maghrib, saya dan mbak Yuanita cari makan di food center di pelataran luar masjid. Sambil makan, sambil saling bercerita rencana dan mimpi masing-masing. Kembali saya takjub. Kami baru kenal lho...lalu dengan begitu nyamannya saling bercerita.
Singkat cerita, sepertinya kami berdua sudah cukup lama menunggu dan belum ada kabar dari yang di dalam masjid. Sampai BBM saya berbunyi, dari kontak yang tidak dikenal. Laki-laki...Hhaa...siapa ini?
Dia mengaku Liska, yang minta ditemui karena terpisah dari rombongan yang lain, barang-barang dan alas kakinya dititipkan ke rombongan. Ya...saya percaya tidak percaya awalnya. Bukan apa-apa...untuk waspada saja. Tapi yah...kalau memang betul, kasihan juga Liska kebingungan. Maka saya dan mbak Yuanita mulai berjalan mencari Liska sesuai petunjuk dari obrolan BBM.
Daan...Yaa Allah...ternyata memang betul kami bertemu Liska. Sendirian, memang terpisah dari rombongan, dan nyeker alias tidak pakai alas kaki. Karena sandal dan semua barangnya dititipkan ke rombongan. Aduuuhh....terus yang lain ke manaa... (?)
Sekitar setengah jam atau satu jam, kami lupa karena menit selanjutnya setengah trenyuh setengah tahan ketawa dengar cerita Liska bagaimana bisa terpisah. Karena terpisah dan mencari rombongan tidak ada, Liska keluar masjid sendiri. Mencoba menghubungi saya (yang kebetulan kontak saya yang disimpan) sebelum HP-nya mati, tapi gagal. HP mati, akhirnya berusaha pinjam orang. Otomatis agak-agak curiga HP-nya mau dipinjam dengan orang tak dikenal tanpa alas kaki (Aduh! Kasihan Liska). Sampai akhirnya ada abang-abang pedagang yang bersedia meminjamkan HP. Maka begitulah Liska bisa menghubungi saya.
Kami bertiga akhirnya menunggu rombongan keluar dari masjid, di trotoar...di tengah riuhnya pasar dadakan yang biasa digelar pedagang di area jalur masuk/keluar masjid. Sambil mendengar cerita Liska, diselingi tertawa dan menenangkannya setelah lolos dari “peristiwa hampir tragis”.
Ketika rombongan keluar dan menemukan kami. Maka kehebohan lebih besar terjadi. Menertawakan ulah kami sendiri yang ga habis pikir, bisanya terpisah, bingung cari toilet, ga tau jalan balik, bingung ada personel yang hilang, daan...seterusnya. Hahaha...
Sudah usai sholat di Masjid Istiqlal, kami naik bajaj lagi ke Monas. Kalau ke monas ini sudah bukan yang pertama buat saya. Kemarin, waktu baru sampai di Jakarta, karena masih terlalu awal untuk check in ke hotel, seturunnya saya dari kereta di Stasiun Pasar Senen saya sudah mampir ke Monas dulu, naik Bus Trans Jakarta (yang ini pertama kali buat saya, ke Jakarta sendiri, naik Trans Jakarta sendiri). Setelah lelah memutari monas, barulah saya naik taksi ke hotel. Kemarin begitu. Maka ketika ke Monas lagi bersama rombongan kecil ini, berarti itu kedua kalinya saya ke Monas.

Monas bersolek di malam hari
  Monas di malam hari, ramai juga. Lampu sudah dipasang kerlap-kerlip menerangi Monumen ciri khas Jakarta (dan Indonesia) berwarna-warni. Beberapa boneka costplay berjalan kesana-kemari menawarkan jasa foto bersama dengan karakter mereka yang lucu. Kegiatan kami, yah...apa lagi kalau bukan foto-foto, duduk-duduk, dan tertawa-tawa.
Dan lagi-lagi Liska (dengan Nurul dan saya) dapat jackpot! Enak-enak santai duduk di rerumputan sekitar monas, kami didatangi pengamen. Ibu-ibu paruh baya yang membawa anak. Sadar bahwa ini bentuk lain dari mengemis, dan bahwa kami sepakat dalam diam untuk tidak memberikan uang, kami menolak dengan halus. Ehh...si ibu-ibu malah kasih harga berapa harusnya kami beri dia uang. Tetap tidak kami berikan, eh...nawar. Semakin turun...semakin turun...tetap tidak kami beri, dan akhirnya si ibu berhenti di, “Ya sudah kasih Rp 2.000,00 saja,” Lhooo??? Tetap kami tidak bergeming. Ehh...si ibu malah marah-marah. Piye tho?! Kok maksa.
Tidak ambil pusing dengan si ibu yang ngamuk-ngamuk sendiri, kami kembali bergabung dengan rombongan. Foto-foto lagi...
Sebelum semakin malam. Ruri harus mengejar bis untuk segera pulang dari Terminal Gambir. Kami hentikan aktivitas di pelataran Monas, mulai menjauh mengantar Ruri.
Setelah berpisah dengan Ruri, berjalan keluar dari area Monas sambil masih bercengkrama, bercerita, bersenda gurau. Justru seperti teman lama sedang reuni saja. Kami mau pulang balik ke hotel. Sudah malam. Kami tetap pilih bajaj sebagai moda transport favorit hari ini. Kami berenam, mencoba menawar 2 bajaj untuk mengantar kami ke Menteng. Negosiasi gagal! Jual mahal kali abang-abang bajaj ini. Tapi tetap ada satu abang bajaj yang bersedia mengantar kami, harganya sepakat. Tapii....dijadikan satu. BAYANGKAN!! Satu bajaj, 1 sopir, 6 penumpang!!! Itu yang terjadi.
 
Bajaj, jadi favorit (dan ada yang mupeng naik sih sebenernya...)
 Tapi akhirnya kami selamat juga sampai tujuan. Sudah malam. Masing-masing lelah. Besoknya masing-masing kami masih harus menempuh perjalanan pulang balik ke daerah asal. Kami masuk kamar masing-masing. Istirahat.
Wait! Saya ada satu janji dengan satu teman lama yang juga lolos dan akan tes Pencerah Nusantara keesokan hari. Ada mbak Ineke, penyala Malang, Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang baru pulang dari penugasan di Musi Banyuasin. Dia juga menginap di hotel yang sama, menunggu tes. Saya menyempatkan diri ke kamarnya. Beda lantai dari kamar saya, tapi tidak masalah. Bertemu, bertanya kabar, lalu mengobrol cukup lama.
Sadar malam akan semakin larut, terpaksa harus diakhiri obrolan dengan mbak Ineke. Kembali ke kamar. Di sana Afit sebenarnya sudah akan bersiap istirahat. Tapi demi saya yang cerita heboh soal insiden di Masjid Istiqlal dan Monas, ikut tertawalah dia. Mengobrol hal lain sejenak. Lalu sama-sama pergi tidur. Afit akan kembali pulang ke daerah asal selepas subuh, bersama bapak dan adiknya. Ahh...singkat saja pertemuan saya dengan si bidan ini, tapi dia sudah meminta agar kami saling bercerita progress kelanjutan nasib masing-masing. Hehe... memang untuk itulah teknologi diciptakan. Untuk memperpanjang interaksi.
Malam itu saya tidur dengan hati senang, dan penuh harap, semoga Allah beri jalan terbaik. Bila memang di Pencerah Nusantara saya akan jadi lebih baik, saya sangat mengharapkannya.. lalu memejamkan mata. Tidur.


Bersambung...