Selasa, 08 Oktober 2013

PANGGIL SAYA, RETNO.



Saya dinamai Endah Retno Palupi. Kakek saya yang konon kabarnya memberikan nama itu, selain pilihan nama lain, Novi misalnya. Dan sampai sekarang ini semakin bervariasi interpretasi orang-orang tentang nama ini. Di antaranya yang paling mengejutkan adalah saat masih SMP dulu, teman satu regu JAMCAB ada yang nyeletuk, “Namamu Palupi, kupikir agamamu Budha.”

Dia bilang begitu saat tau saya ambil wudhu untuk sholat. Memang waktu itu saya belum mulai pakai jilbab. Jadi wajarlah dia tak langsung peka soal agama, karena simbol-simbol agama belum nempel. But hijab is not only a symbol, of course. That’s a faith J

Lalu ada lagi yang mengira Palupi itu semacam marga, name family... karena dia kenal orang atau beberapa orang yang namanya juga demikian. Pastinya! Saya tau banyak orang juga bernama Palupi, bahkan yang persis sama “Endah Retno Palupi” juga ada. Tapi bukan, Palupi di nama saya bukan marga. Tiga generasi di keluarga saya, hanya saya yang nama belakangnya itu, terlebih lagi... keluarga besar saya bukan yang termasuk menerapkan sistem patrilinier dengan mempertahankan nama belakang.

Yang kadang terjadi adalah... nama ini jadi semacam bahan lucu-lucuan di awal perkenalan, “Palupi apanya Pelupa?”, “Kalo cewek memang Lupi, kalo cowok pasti namanya Lupa.” Lalu muncul sapaan-sapaan semacam “Pal”, “Palu”
I’m fine with that. Kalau hanya sebagai pemecah suasana di tengah ketegangan perkenalan dan lebih memudahkan adaptasi. Yang kurang bisa kuterima adalah bila itu terjadi terus-terusan, apalagi kalau dipleset-plesetkan, apalagi ku dengar dari orang yang... “Siapa elo?” =_=a
Alasannya simpel, saya ga suka dipanggil dengan nama pleset-plesetan, saya ga suka nama dijadikan olok-olok. Kita juga sudah diajarkan untuk memanggil sebagaimana orang tersebut ingin dipanggil.

Sebagian yang lebih fair akan langsung menanyakan, apa artinya.

Ya! Saya memperkenalkan diri dengan nama lengkap saya, dengan nama panggilan Palupi, atau Upik. Dan untungnya belum saya temukan orang yang mengira saya orang Minang saat tau saya dipanggil Upik..hehe

Jarang saya minta dipanggil Endah, atau Retno. Karena bukan dengan nama itu saya besar. Bukan dengan nama itu saya terbiasa dipanggil. Walau pada awalnya saya jengah dengan nama Palupi, karena tidak umum, karena nama itu yang paling berat artinya...
Nama saya bukan menggambarkan saya Budha, bukan nama marga, bukan pelesetan dari alat pertukangan. Nama saya adalah nama Jawa, Jawa Kawi. Murni 100% Jawa, yang memberikan nama pun seorang Jawa tulen yang memegang Jawanya (sungkem kasembah kagem Eyang Kakung MS Setyodarmodjo). Dan inilah arti nama saya...

Endah
Artinya baik/sedap dipandang. Dalam bahasa Jawa ada padanan katanya bisa jadi Peni, Raras, Laras kalau putri. Kalau putra bisa jadi Bagus, Edi. Di bahasa Indonesia bisa diartikan Indah.

Retno
Adalah nama yang sering disematkan oleh orang Jawa untuk anak putri. Sama halnya seperti Ratna. Belakangan, saya baru tahu kalau artinya bisa berarti mata/penglihatan. Atau...ada juga yang menyebutkan artinya: intan, mutiara...simply...permata. Wow!! I don't suppose that valuable word was put on my name. I amazed.

Palupi
Artinya tuladha, contoh. Nih yang sempat membuat saya tak memperkenalkan nama panggilan “Palupi” : karena artinya! Serasa ada suatu yang harus saya contohkan lebih baik saat saya dipanggil dengan nama itu. Sebelum saya tau arti nama saya ini, saya merasa aneh sendiri dengan nama belakang saya itu. Ga umum, dan paling aneh di rangkaian nama ini. Maka saya memperkenalkan diri dengan “Upi” sebagaimana keluarga saya memaggil, atau “Lupi” seperti panggilan di lingkungan rumah terdekat, tetangga. Dalam perkembangannya dari SD teman-teman banyak menyapa dengan 2 pilihan nama itu, bertransformasi jadi “Upick” waktu SMP-SMA, lalu tiba-tiba huruf “C” hilang dari penulisannya saat kuliah, “Upik”

Intinya adalah, walaupun hanya sekedar nama, saya pribadi punya feel tersendiri terhadap nama belakang saya itu. Sampai saya sudah bisa menerimanya sebagai nama yang utuh, sebagai bentuk pengharapan bahwa saya bisa jadi contoh perempuan yang baik bagi sekitar. Harapa tinggi dan mulia sekali dari orang tua ke generasinya. Maka saya sudah terbiasa memperkenalkan diri dengan pedenya, “Palupi”. But, wait! Tidakkah harapan ini terlalu tinggi?

Lalu kembali tentang pengharapan itu. Ekspektasi.

Sebagaimana sejarah panjang lebarnya berbagai respon orang terhadap nama. Demikian juga respon dan persepsi orang tentang saya. Ini soal kepribadian, karakter, cara kerja, or apapun itu yang berhubungan dengan penilaian orang lain pada diri.

Tidak jarang saya jumpai orang-orang yang baru saya kenal langsung menggantungkan ekspektasi tinggi pada saya. Overexpect, overestimate. I don’t know why, I don’t know what the reasons. Yang pasti beberapa kali saya pernah terjebak pada posisi itu dan saya tidak serta merta sengaja bermaksud mengecewakan harapan mereka.

Lalu secara random, utak atik gathuk, kadang saya kembali menghubungkan dengan ekspektasi dalam nama saya. “Palupi” serasa berat kembali walau kini benar saya sudah menerimanya.

Maka izinkanlah saya dipanggil “Retno”. Satu-satunya kata yang netral dalam nama saya, tidak mensifatkan baik/buruk. Tidak mengandung ekspektasi atau tanggung jawab yang lebih. Hanya menggambarkan bahwa saya putri, saya perempuan Jawa. Yang semoga selalu terbukakan mata, dan sekuat intan permata. aamiin...

Panggil saya, Retno.