Setelah
rehat sejenak, menyegarkan badan seperlunya, tak lama setelah itu, sebagian
dari kami si anak luar kota pengadu nasib di Jakarta mulai berkumpul. Afit
tidak jadi ikut pergi, dia di hotel saja karena kebetulah bapak dan adiknya
juga sedang ada keperluan di Jakarta dan menginap di hotel yang sama. Ingin menghabiskan
waktu dengan keluarga saja, katanya.
Bertujuh:
Saya, Liska, Nurul, Mega, Halimah, Yuanita, Ruri, kami berangkat menumpang 2
bajaj. Sebelumnya, di lobi sempat bertemu sekelompok kandidat Pencerah
Nusantara yang akan tes keesokan hari, mereka baru saja tiba di hotel. Menyapa,
berkenalan, lalu berpamit kami akan ke Istiqlal. Saya satu bajaj dengan Liska
dan Nurul.
|
Nurul, Liska, Saya |
Kalau
saya ingat-ingat lagi...sepertinya, baru sekali itu saya pertama kali naik
bajaj di ibu kota negara. Hehm... Dan, takjubnya saya adalah bahwa di antara
kami yang sama-sama baru kenal, sudah saling akrab. Berasal dari daerah
berbeda, berprofesi berbeda. Masih bertemu hanya beberapa jam, mengobrol hanya
berapa menit, lalu seketika berjalan bersama. Sama sekali tidak ada rasa atau
anggapan yang satu sebenarnya kompetitor bagi yang lainnya untuk satu hal
menjadi Pencerah Nusantara. Tidak...sama sekali rasa dan pikiran itu tidak ada.
|
Liska, saya, Nurul, Mbak Mega |
Singkatnya,
kami sampai di Masjid Istiqlal (untuk pertama kalinya juga buat saya). Sayang
saya tidak bisa masuk masjid, karena sedang berhalangan. Sementara yang lain
berbuka dan sholat maghrib, saya dan mbak Yuanita cari makan di food center di pelataran luar masjid. Sambil
makan, sambil saling bercerita rencana dan mimpi masing-masing. Kembali saya
takjub. Kami baru kenal lho...lalu dengan begitu nyamannya saling bercerita.
Singkat
cerita, sepertinya kami berdua sudah cukup lama menunggu dan belum ada kabar
dari yang di dalam masjid. Sampai BBM saya berbunyi, dari kontak yang tidak
dikenal. Laki-laki...Hhaa...siapa ini?
Dia
mengaku Liska, yang minta ditemui karena terpisah dari rombongan yang lain,
barang-barang dan alas kakinya dititipkan ke rombongan. Ya...saya percaya tidak
percaya awalnya. Bukan apa-apa...untuk waspada saja. Tapi yah...kalau memang
betul, kasihan juga Liska kebingungan. Maka saya dan mbak Yuanita mulai
berjalan mencari Liska sesuai petunjuk dari obrolan BBM.
Daan...Yaa
Allah...ternyata memang betul kami bertemu Liska. Sendirian, memang terpisah
dari rombongan, dan nyeker alias
tidak pakai alas kaki. Karena sandal dan semua barangnya dititipkan ke
rombongan. Aduuuhh....terus yang lain ke manaa... (?)
Sekitar
setengah jam atau satu jam, kami lupa karena menit selanjutnya setengah trenyuh
setengah tahan ketawa dengar cerita Liska bagaimana bisa terpisah. Karena terpisah
dan mencari rombongan tidak ada, Liska keluar masjid sendiri. Mencoba menghubungi
saya (yang kebetulan kontak saya yang disimpan) sebelum HP-nya mati, tapi
gagal. HP mati, akhirnya berusaha pinjam orang. Otomatis agak-agak curiga
HP-nya mau dipinjam dengan orang tak dikenal tanpa alas kaki (Aduh! Kasihan Liska).
Sampai akhirnya ada abang-abang pedagang yang bersedia meminjamkan HP. Maka begitulah
Liska bisa menghubungi saya.
Kami
bertiga akhirnya menunggu rombongan keluar dari masjid, di trotoar...di tengah
riuhnya pasar dadakan yang biasa digelar pedagang di area jalur masuk/keluar
masjid. Sambil mendengar cerita Liska, diselingi tertawa dan menenangkannya
setelah lolos dari “peristiwa hampir tragis”.
Ketika
rombongan keluar dan menemukan kami. Maka kehebohan lebih besar terjadi. Menertawakan
ulah kami sendiri yang ga habis pikir, bisanya terpisah, bingung cari toilet,
ga tau jalan balik, bingung ada personel yang hilang, daan...seterusnya. Hahaha...
Sudah
usai sholat di Masjid Istiqlal, kami naik bajaj lagi ke Monas. Kalau ke monas
ini sudah bukan yang pertama buat saya. Kemarin, waktu baru sampai di Jakarta,
karena masih terlalu awal untuk check in ke
hotel, seturunnya saya dari kereta di Stasiun Pasar Senen saya sudah mampir ke
Monas dulu, naik Bus Trans Jakarta (yang ini pertama kali buat saya, ke Jakarta
sendiri, naik Trans Jakarta sendiri). Setelah lelah memutari monas, barulah
saya naik taksi ke hotel. Kemarin begitu. Maka ketika ke Monas lagi bersama
rombongan kecil ini, berarti itu kedua kalinya saya ke Monas.
|
Monas bersolek di malam hari |
Monas
di malam hari, ramai juga. Lampu sudah dipasang kerlap-kerlip menerangi Monumen
ciri khas Jakarta (dan Indonesia) berwarna-warni. Beberapa boneka costplay berjalan kesana-kemari
menawarkan jasa foto bersama dengan karakter mereka yang lucu. Kegiatan kami,
yah...apa lagi kalau bukan foto-foto, duduk-duduk, dan tertawa-tawa.
Dan
lagi-lagi Liska (dengan Nurul dan saya) dapat jackpot! Enak-enak santai duduk
di rerumputan sekitar monas, kami didatangi pengamen. Ibu-ibu paruh baya yang
membawa anak. Sadar bahwa ini bentuk lain dari mengemis, dan bahwa kami sepakat
dalam diam untuk tidak memberikan uang, kami menolak dengan halus. Ehh...si
ibu-ibu malah kasih harga berapa harusnya kami beri dia uang. Tetap tidak kami
berikan, eh...nawar. Semakin turun...semakin turun...tetap tidak kami beri, dan
akhirnya si ibu berhenti di, “Ya sudah kasih Rp 2.000,00 saja,” Lhooo??? Tetap
kami tidak bergeming. Ehh...si ibu malah marah-marah. Piye tho?! Kok maksa.
Tidak
ambil pusing dengan si ibu yang ngamuk-ngamuk sendiri, kami kembali bergabung
dengan rombongan. Foto-foto lagi...
Sebelum
semakin malam. Ruri harus mengejar bis untuk segera pulang dari Terminal
Gambir. Kami hentikan aktivitas di pelataran Monas, mulai menjauh mengantar
Ruri.
Setelah
berpisah dengan Ruri, berjalan keluar dari area Monas sambil masih
bercengkrama, bercerita, bersenda gurau. Justru seperti teman lama sedang reuni
saja. Kami mau pulang balik ke hotel. Sudah malam. Kami tetap pilih bajaj
sebagai moda transport favorit hari ini. Kami berenam, mencoba menawar 2 bajaj
untuk mengantar kami ke Menteng. Negosiasi gagal! Jual mahal kali abang-abang
bajaj ini. Tapi tetap ada satu abang bajaj yang bersedia mengantar kami,
harganya sepakat. Tapii....dijadikan satu. BAYANGKAN!! Satu bajaj, 1 sopir, 6
penumpang!!! Itu yang terjadi.
|
Bajaj, jadi favorit (dan ada yang mupeng naik sih sebenernya...) |
Tapi
akhirnya kami selamat juga sampai tujuan. Sudah malam. Masing-masing lelah. Besoknya
masing-masing kami masih harus menempuh perjalanan pulang balik ke daerah asal.
Kami masuk kamar masing-masing. Istirahat.
Wait! Saya ada satu janji dengan satu
teman lama yang juga lolos dan akan tes Pencerah Nusantara keesokan hari. Ada mbak
Ineke, penyala Malang, Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang baru pulang dari
penugasan di Musi Banyuasin. Dia juga menginap di hotel yang sama, menunggu
tes. Saya menyempatkan diri ke kamarnya. Beda lantai dari kamar saya, tapi
tidak masalah. Bertemu, bertanya kabar, lalu mengobrol cukup lama.
Sadar
malam akan semakin larut, terpaksa harus diakhiri obrolan dengan mbak Ineke. Kembali
ke kamar. Di sana Afit sebenarnya sudah akan bersiap istirahat. Tapi demi saya
yang cerita heboh soal insiden di Masjid Istiqlal dan Monas, ikut tertawalah
dia. Mengobrol hal lain sejenak. Lalu sama-sama pergi tidur. Afit akan kembali
pulang ke daerah asal selepas subuh, bersama bapak dan adiknya. Ahh...singkat
saja pertemuan saya dengan si bidan ini, tapi dia sudah meminta agar kami
saling bercerita progress kelanjutan nasib masing-masing. Hehe... memang untuk
itulah teknologi diciptakan. Untuk memperpanjang interaksi.
Malam
itu saya tidur dengan hati senang, dan penuh harap, semoga Allah beri jalan
terbaik. Bila memang di Pencerah Nusantara saya akan jadi lebih baik, saya
sangat mengharapkannya.. lalu memejamkan mata. Tidur.
Bersambung...