Saya
dinamai Endah Retno Palupi. Kakek saya yang konon kabarnya memberikan nama itu,
selain pilihan nama lain, Novi misalnya. Dan sampai sekarang ini semakin
bervariasi interpretasi orang-orang tentang nama ini. Di antaranya yang paling
mengejutkan adalah saat masih SMP dulu, teman satu regu JAMCAB ada yang
nyeletuk, “Namamu Palupi, kupikir agamamu Budha.”
Dia
bilang begitu saat tau saya ambil wudhu untuk sholat. Memang waktu itu saya
belum mulai pakai jilbab. Jadi wajarlah dia tak langsung peka soal agama, karena
simbol-simbol agama belum nempel. But hijab
is not only a symbol, of course. That’s a faith J
Lalu
ada lagi yang mengira Palupi itu semacam marga, name family... karena dia kenal orang atau beberapa orang yang
namanya juga demikian. Pastinya! Saya tau banyak orang juga bernama Palupi,
bahkan yang persis sama “Endah Retno Palupi” juga ada. Tapi bukan, Palupi di
nama saya bukan marga. Tiga generasi di keluarga saya, hanya saya yang nama
belakangnya itu, terlebih lagi... keluarga besar saya bukan yang termasuk
menerapkan sistem patrilinier dengan mempertahankan nama belakang.
Yang
kadang terjadi adalah... nama ini jadi semacam bahan lucu-lucuan di awal
perkenalan, “Palupi apanya Pelupa?”, “Kalo cewek memang Lupi, kalo cowok pasti
namanya Lupa.” Lalu muncul sapaan-sapaan semacam “Pal”, “Palu”
I’m fine with that. Kalau hanya sebagai pemecah
suasana di tengah ketegangan perkenalan dan lebih memudahkan adaptasi. Yang kurang
bisa kuterima adalah bila itu terjadi terus-terusan, apalagi kalau
dipleset-plesetkan, apalagi ku dengar dari orang yang... “Siapa elo?” =_=a
Alasannya
simpel, saya ga suka dipanggil dengan nama pleset-plesetan, saya ga suka nama
dijadikan olok-olok. Kita juga sudah diajarkan untuk memanggil sebagaimana
orang tersebut ingin dipanggil.
Sebagian
yang lebih fair akan langsung menanyakan, apa artinya.
Ya!
Saya memperkenalkan diri dengan nama lengkap saya, dengan nama panggilan
Palupi, atau Upik. Dan untungnya belum
saya temukan orang yang mengira saya orang Minang saat tau saya dipanggil
Upik..hehe
Jarang
saya minta dipanggil Endah, atau Retno. Karena bukan dengan nama itu saya
besar. Bukan dengan nama itu saya terbiasa dipanggil. Walau pada awalnya saya
jengah dengan nama Palupi, karena tidak umum, karena nama itu yang paling berat
artinya...
Nama
saya bukan menggambarkan saya Budha, bukan nama marga, bukan pelesetan dari
alat pertukangan. Nama saya adalah nama Jawa, Jawa Kawi. Murni 100% Jawa, yang
memberikan nama pun seorang Jawa tulen yang memegang Jawanya (sungkem kasembah
kagem Eyang Kakung MS Setyodarmodjo). Dan inilah arti nama saya...
Endah
Artinya
baik/sedap dipandang. Dalam bahasa Jawa ada padanan katanya bisa jadi Peni, Raras, Laras kalau
putri. Kalau putra bisa jadi Bagus, Edi. Di bahasa Indonesia bisa diartikan
Indah.
Retno
Adalah
nama yang sering disematkan oleh orang Jawa untuk anak putri. Sama halnya seperti
Ratna. Belakangan, saya baru tahu kalau artinya bisa berarti mata/penglihatan. Atau...ada juga yang menyebutkan artinya: intan, mutiara...simply...permata. Wow!! I don't suppose that valuable word was put on my name. I amazed.
Palupi
Artinya
tuladha, contoh. Nih yang sempat membuat saya tak memperkenalkan nama panggilan “Palupi” : karena artinya! Serasa ada suatu yang harus saya contohkan lebih baik saat saya
dipanggil dengan nama itu. Sebelum saya tau arti nama saya ini, saya merasa
aneh sendiri dengan nama belakang saya itu. Ga umum, dan paling aneh di
rangkaian nama ini. Maka saya memperkenalkan diri dengan “Upi” sebagaimana
keluarga saya memaggil, atau “Lupi” seperti panggilan di lingkungan rumah
terdekat, tetangga. Dalam perkembangannya dari SD teman-teman banyak menyapa
dengan 2 pilihan nama itu, bertransformasi jadi “Upick” waktu SMP-SMA, lalu
tiba-tiba huruf “C” hilang dari penulisannya saat kuliah, “Upik”
Intinya
adalah, walaupun hanya sekedar nama, saya pribadi punya feel tersendiri terhadap nama belakang saya itu. Sampai saya sudah
bisa menerimanya sebagai nama yang utuh, sebagai bentuk pengharapan bahwa saya
bisa jadi contoh perempuan yang baik bagi sekitar. Harapa tinggi dan mulia
sekali dari orang tua ke generasinya. Maka saya sudah terbiasa memperkenalkan
diri dengan pedenya, “Palupi”. But, wait!
Tidakkah harapan ini terlalu tinggi?
Lalu
kembali tentang pengharapan itu. Ekspektasi.
Sebagaimana
sejarah panjang lebarnya berbagai respon orang terhadap nama. Demikian juga
respon dan persepsi orang tentang saya. Ini soal kepribadian, karakter, cara
kerja, or apapun itu yang berhubungan dengan penilaian orang lain pada diri.
Tidak
jarang saya jumpai orang-orang yang baru saya kenal langsung menggantungkan
ekspektasi tinggi pada saya. Overexpect,
overestimate. I don’t know why, I don’t know what the reasons. Yang pasti beberapa
kali saya pernah terjebak pada posisi itu dan saya tidak serta merta sengaja bermaksud
mengecewakan harapan mereka.
Lalu
secara random, utak atik gathuk, kadang
saya kembali menghubungkan dengan ekspektasi dalam nama saya. “Palupi” serasa
berat kembali walau kini benar saya sudah menerimanya.
Maka
izinkanlah saya dipanggil “Retno”. Satu-satunya kata yang netral dalam nama
saya, tidak mensifatkan baik/buruk. Tidak mengandung ekspektasi atau tanggung
jawab yang lebih. Hanya menggambarkan bahwa saya putri, saya perempuan Jawa.
Yang semoga selalu terbukakan mata, dan sekuat intan permata. aamiin...
Panggil saya, Retno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar